Gula merah merupakan bumbu yang
sangat berguna. Rasanya yang manis (ya iya lah manis, namanya juga gula hehe
….) membuat ia sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama untuk
keperluan masak-memasak. Kita semua mungkin pernah mencicipi makanan yang di dalamnya
terdapat unsur gula merah ini, tapi mungkin hanya sedikit dari kita yang tahu
bagaimana proses pembuatan gula merah tersebut.
Dalam pembuatannya, ternyata gula
merah ini memerlukan proses yang cukup lama. Pada libur Lebaran 1436 H. kemarin,
kebetulan saya berkesempatan menyaksikan langsung bagaimana proses pembuatan
gula merah. Kesempatan tersebut saya peroleh ketika bersilaturahmi ke kaluarga
dari pihak Ibu di Kp. Pasirmala Ds.
Mekarbakti Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut, kebetulan ada saudara
sepupu ibu yang bermata pencaharian sebagai paneresan (bahasa Sunda
untuk menyebut pengerajin gula merah). Bang Ato namanya. Entah bagaimana
ceritanya, walaupun beliau seratus persen asli Sunda juga secara silsilah
harusnya mendapatkan panggilan yang variatif dari kami sebagai anggota
keluarganya, tapi pada kenyataannya kami semua sepakat memanggilnya: Bang Ato.
Secara alur sih sebenarnya saya
tidak mengikuti proses pembuatan gula merah tersebut berdasarkan alur maju,
tapi mengikuti alur campuran hehe …. (kayak cerita fiksi aja ada alurnya),
alasannya ketika saya berkunjung ke rumah Bang Ato, gula merah tersebut sedang
dalam proses pembuatan, dan saya belum mengikuti bagaimana cara Bang Ato
amengambil bahan gula merah tersebut dari pohonnya. Tapi tak apa lah … toh pada
akhirnya saya berkesempatan juga menyaksikan bagaimana proses pengambilan air
nira tersebut dari pohon kawung pada sore hari di hari tersebut, karena Bang
Ato rutin melakukan pekerjaan tersebut setiap hari.
Dalam pembuatan gula merah, rupanya Bang Ato berbagi tugas dengan
istrinya: Bang Ato bertugas mengambil air nira (bahan gula merah) dari pohon kawung
(aren), dan istrinya bertugas nitis (mengolah) bahan gula tersebut
hingga jadi. Sementara istrinya nitis, Bang Ato pergi mencari rumput untuk memberi
makan beberapa ekor kerbaunya. Seperti pagi itu, waktu bersilaturahmi ke
rumahnya, begitu tiba di rumahnya nampak istri Bang Ato sedang sibuk
mengocek-ngocek air nira di wajan besar sambil sesekali membolak-balik kayu
bakar dari pohon rasalama--di hawu (tungku) yang terdapat di ruangan khusus
di belakang rumahnya.
Nira tersebut tampak tengah
mendidih, dan di tengah wajan tersebut tampak berdiri sebuah benda terbuat dari
anyaman bambu berbentuk tabung yang bolong di bagian atas dan bawahnya (namanya
jubung). Menurut keterangan dari istri Bang Ato, jubung tersebut
berfungsi untuk mencegah agar air nira tidak meluber ke luar wajan ketika
mendidih. Hmmm … teknologi yang sederhana dan bermanfaat.
Dalam bahasa Sunda—dalam
prosesnya menjadi gula, air nira tersebut memiliki beberapa nama, yaitu
Lahang, yaitu air
nira yang masih murni, dalam arti belum mengalamai proses pemanasan. Air nira
yang baru diambil dari pohonnya, itulah yang dinamakan lahang.
Wédang, air nira setelah
beberapa saat mengalami proses pemanasan.
Peueut, air nira setelah
mendekati matang. Pada tahap ini air nira warnanya sudah berubah menjadi
seperti warna gula (merah), dan menjadi léngket.
Nah, setelah nira memasuki proses yang terakhir disebutkan, istrinya
Bang Ato bekerja lebih giat lagi. Peueut tersebut ia aduk terus, tujuannya
agar peueut tersebut tidak mengerak, lalu setelah dirasa cukup matang kemudian
ia angkat wajan berisi peueut tersebut dari tungku. Setelah itu, ia
menyiapkan beberapa ruas banbu kecil dengan panjang kurang lebih 5 cm, dan
diameter kurang lebih 2,5 cm. Ruas-ruas bambu tersebut ia pergunakan untuk
mencetak peueut--yang baru saja diangkat-- menjadi gula.
Proses pembuatan gula merah tersebut
memang memerlukan waktu yang lama. Bayangkan, ketika saya datang ke rumah Bang
Ato—waktu menunjukan pukul delapan, sementara itu menurut keterangan istri Bang
Ato proses membuat gula tersebut sudah dimulai sejak dari pukul enam pagi, lalu
ketika gula tersebut selesai dicetak waktu menunjukan pukul sebelas siang.
Demikian tadi, hal-hal yang saya temui selama proses pembuatan gula
merah di rumah Bang Ato. Tapi pengalaman saya menyaksikan proses pembuatan gula
merah tidak hanya sampai di situ, karena pada sore harinya saya berkesempatan
menyaksikan bagaimana air nira diambil dari pohon kawung.
Sore itu sekitar jam tiga Bang
Ato mengajak saya untuk melihat bagaimana air nira diambil dari pohon kawung.
Bang Ato terlebih dahulu menyiapkan dua buah lodong (tempat menampung nira
terbuat dari bambu), kemudian lodong tersebut dipuput (diasapi) olehnya,
tujuannya adalah agar air nira di dalam lodong tersebut tidak cepat masam.
Setelah semua peralatan yang dibutuhkan siap, maka Bang Ato pun bergegas menuju
lokasi pengambilan air nira. Saya mengikuti di belakangnya.
Setelah kurang lebih tujuh menit berjalan di antara sengkedan-sengkedan
pematang sawah dan jalan setapak yang menurun akhirnya kami sampai di lokasi
pertama pengambilan air nira. Di tempat tersebut tampak berdiri pohon kawung
dengan tinggi kurang-lebih sepuluh meter. Pada ketinggian kurang-lebih lima
meter tampak lodong penampung air nira—yang sudah Bang Ato pasangkan sejak
pagi—tergantung di sana. Lalu tak lama kemudian Bang Ato dengan cekatan meniti sigay (semacam tangga tunggal
yang dibuat dari bambu) yang diikat pada pohon aren. Tak lama, Bang Ato sudah
sampai di tempat lodong tadi tergantung. Kemudian tampak Bang Ato melepas
ikatan lodong tersebut dan menggantinya dengan lodong kosong yang dibawa dari
rumah. Tak lama kemudian lodong tersebut terpasang pada leungeun tempat
nira keluar, dan Bang Ato segera turun dengan membawa lodong yang telah terisi
nira tadi. Kemudian kami menuju lokasi pengambilan nira selanjutnya, di tempat
pengambilan yang kedua Bang Ato melakukan hal yang kurang lebih sama seperti
yang dilakukan di tempat pengambilan air nira yang pertama. Setelah semuanya
selesai, kemudian kami pulang dengan membawa dua buah lodong yang telah terisi
air nira.
Perjalanan pulang dari tempat
pengambilan air nira cukup melelahkan, karena jika pada saat berangkat kondisi
jalan terus menurun, maka waktu pulang kondisi tersebut menjadi terbalik 180
derajat, artinya sekarang kami menempuh perjalanan menanjak yang baru berakhir
di halaman rumah Bang Ato. Keluarnya keringat karena perjalanan yang cukup
memakan tenaga membuat rasa haus datang melanda kerongkongan saya. Rupanya hal
tersebut dapat dibaca oleh Bang Ato, maka segera saja ia menawariku untuk
mencoba minum lahang yang baru saja ia ambil dari pohon aren. Dalam keadaan
sangt haus tentu seja penawaran seperti itu tidak bisa saya tolak. Segera saja
saya raih gelas berisi lahang tersebut, dan meneguknya sampai tandas. Luar
biasa … rasanya manis segar, ditambah aromanya yang khas--segera saja menjadi
penawar rasa haus di sekitar kerongkongan saya.
Sesampainya di ruang khusus
tempat pembuatan gula, Bang Ato segera menumpahkan seluruh lahang dalam lodong
ke dalam wajan besar, lalu dipanaskan sebentar di atas tungku, dan setelah itu
air nira dalam wajan didiamkan selama satu malam untuk diproses lebih lanjut
oleh istrinya pada keesokan hari.
Proses pembuatan gula merah di atas dapat disaksikan dalam video di bawah ini.
Proses pembuatan gula merah di atas dapat disaksikan dalam video di bawah ini.