Saturday, September 26, 2015

Menyaksikan Proses Pembuatan Gula Merah

Gula merah merupakan bumbu yang sangat berguna. Rasanya yang manis (ya iya lah manis, namanya juga gula hehe ….) membuat ia sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama untuk keperluan masak-memasak. Kita semua mungkin pernah mencicipi makanan yang di dalamnya terdapat unsur gula merah ini, tapi mungkin hanya sedikit dari kita yang tahu bagaimana proses pembuatan gula merah tersebut.

Dalam pembuatannya, ternyata gula merah ini memerlukan proses yang cukup lama. Pada libur Lebaran 1436 H. kemarin, kebetulan saya berkesempatan menyaksikan langsung bagaimana proses pembuatan gula merah. Kesempatan tersebut saya peroleh ketika bersilaturahmi ke kaluarga dari pihak Ibu di Kp. Pasirmala Ds.  Mekarbakti Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut, kebetulan ada saudara sepupu ibu yang bermata pencaharian sebagai paneresan (bahasa Sunda untuk menyebut pengerajin gula merah). Bang Ato namanya. Entah bagaimana ceritanya, walaupun beliau seratus persen asli Sunda juga secara silsilah harusnya mendapatkan panggilan yang variatif dari kami sebagai anggota keluarganya, tapi pada kenyataannya kami semua sepakat memanggilnya: Bang Ato.

Secara alur sih sebenarnya saya tidak mengikuti proses pembuatan gula merah tersebut berdasarkan alur maju, tapi mengikuti alur campuran hehe …. (kayak cerita fiksi aja ada alurnya), alasannya ketika saya berkunjung ke rumah Bang Ato, gula merah tersebut sedang dalam proses pembuatan, dan saya belum mengikuti bagaimana cara Bang Ato amengambil bahan gula merah tersebut dari pohonnya. Tapi tak apa lah … toh pada akhirnya saya berkesempatan juga menyaksikan bagaimana proses pengambilan air nira tersebut dari pohon kawung pada sore hari di hari tersebut, karena Bang Ato rutin melakukan pekerjaan tersebut setiap hari.


Dalam pembuatan gula merah, rupanya Bang Ato berbagi tugas dengan istrinya: Bang Ato bertugas mengambil air nira (bahan gula merah) dari pohon kawung (aren), dan istrinya bertugas nitis (mengolah) bahan gula tersebut hingga jadi. Sementara istrinya nitis, Bang Ato pergi mencari rumput untuk memberi makan beberapa ekor kerbaunya. Seperti pagi itu, waktu bersilaturahmi ke rumahnya, begitu tiba di rumahnya nampak istri Bang Ato sedang sibuk mengocek-ngocek air nira di wajan besar sambil sesekali membolak-balik kayu bakar dari pohon rasalama--di hawu (tungku) yang terdapat di ruangan khusus di belakang rumahnya.


Nira tersebut tampak tengah mendidih, dan di tengah wajan tersebut tampak berdiri sebuah benda terbuat dari anyaman bambu berbentuk tabung yang bolong di bagian atas dan bawahnya (namanya jubung). Menurut keterangan dari istri Bang Ato, jubung tersebut berfungsi untuk mencegah agar air nira tidak meluber ke luar wajan ketika mendidih. Hmmm … teknologi yang sederhana dan bermanfaat.
Dalam bahasa Sunda—dalam prosesnya menjadi gula, air nira tersebut memiliki beberapa nama, yaitu
Lahang, yaitu air nira yang masih murni, dalam arti belum mengalamai proses pemanasan. Air nira yang baru diambil dari pohonnya, itulah yang dinamakan lahang.

Wédang, air nira setelah beberapa saat mengalami proses pemanasan.

Peueut, air nira setelah mendekati matang. Pada tahap ini air nira warnanya sudah berubah menjadi seperti warna gula (merah), dan menjadi léngket.

Nah, setelah nira memasuki proses yang terakhir disebutkan, istrinya Bang Ato bekerja lebih giat lagi. Peueut tersebut ia aduk terus, tujuannya agar peueut tersebut tidak mengerak, lalu setelah dirasa cukup matang kemudian ia angkat wajan berisi peueut tersebut dari tungku. Setelah itu, ia menyiapkan beberapa ruas banbu kecil dengan panjang kurang lebih 5 cm, dan diameter kurang lebih 2,5 cm. Ruas-ruas bambu tersebut ia pergunakan untuk mencetak peueut--yang baru saja diangkat-- menjadi gula.



Proses pembuatan gula merah tersebut memang memerlukan waktu yang lama. Bayangkan, ketika saya datang ke rumah Bang Ato—waktu menunjukan pukul delapan, sementara itu menurut keterangan istri Bang Ato proses membuat gula tersebut sudah dimulai sejak dari pukul enam pagi, lalu ketika gula tersebut selesai dicetak waktu menunjukan pukul sebelas siang.

Demikian tadi, hal-hal yang saya temui selama proses pembuatan gula merah di rumah Bang Ato. Tapi pengalaman saya menyaksikan proses pembuatan gula merah tidak hanya sampai di situ, karena pada sore harinya saya berkesempatan menyaksikan bagaimana air nira diambil dari pohon kawung.


Sore itu sekitar jam tiga Bang Ato mengajak saya untuk melihat bagaimana air nira diambil dari pohon kawung. Bang Ato terlebih dahulu menyiapkan dua buah lodong (tempat menampung nira terbuat dari bambu), kemudian lodong tersebut dipuput (diasapi) olehnya, tujuannya adalah agar air nira di dalam lodong tersebut tidak cepat masam. Setelah semua peralatan yang dibutuhkan siap, maka Bang Ato pun bergegas menuju lokasi pengambilan air nira. Saya mengikuti di belakangnya.


Setelah kurang lebih tujuh menit berjalan di antara sengkedan-sengkedan pematang sawah dan jalan setapak yang menurun akhirnya kami sampai di lokasi pertama pengambilan air nira. Di tempat tersebut tampak berdiri pohon kawung dengan tinggi kurang-lebih sepuluh meter. Pada ketinggian kurang-lebih lima meter tampak lodong penampung air nira—yang sudah Bang Ato pasangkan sejak pagi—tergantung di sana. Lalu tak lama kemudian Bang Ato dengan cekatan  meniti sigay (semacam tangga tunggal yang dibuat dari bambu) yang diikat pada pohon aren. Tak lama, Bang Ato sudah sampai di tempat lodong tadi tergantung. Kemudian tampak Bang Ato melepas ikatan lodong tersebut dan menggantinya dengan lodong kosong yang dibawa dari rumah. Tak lama kemudian lodong tersebut terpasang pada leungeun tempat nira keluar, dan Bang Ato segera turun dengan membawa lodong yang telah terisi nira tadi. Kemudian kami menuju lokasi pengambilan nira selanjutnya, di tempat pengambilan yang kedua Bang Ato melakukan hal yang kurang lebih sama seperti yang dilakukan di tempat pengambilan air nira yang pertama. Setelah semuanya selesai, kemudian kami pulang dengan membawa dua buah lodong yang telah terisi air nira.



Perjalanan pulang dari tempat pengambilan air nira cukup melelahkan, karena jika pada saat berangkat kondisi jalan terus menurun, maka waktu pulang kondisi tersebut menjadi terbalik 180 derajat, artinya sekarang kami menempuh perjalanan menanjak yang baru berakhir di halaman rumah Bang Ato. Keluarnya keringat karena perjalanan yang cukup memakan tenaga membuat rasa haus datang melanda kerongkongan saya. Rupanya hal tersebut dapat dibaca oleh Bang Ato, maka segera saja ia menawariku untuk mencoba minum lahang yang baru saja ia ambil dari pohon aren. Dalam keadaan sangt haus tentu seja penawaran seperti itu tidak bisa saya tolak. Segera saja saya raih gelas berisi lahang tersebut, dan meneguknya sampai tandas. Luar biasa … rasanya manis segar, ditambah aromanya yang khas--segera saja menjadi penawar rasa haus di sekitar kerongkongan saya.


Sesampainya di ruang khusus tempat pembuatan gula, Bang Ato segera menumpahkan seluruh lahang dalam lodong ke dalam wajan besar, lalu dipanaskan sebentar di atas tungku, dan setelah itu air nira dalam wajan didiamkan selama satu malam untuk diproses lebih lanjut oleh istrinya pada keesokan hari.

Proses pembuatan gula merah di atas dapat disaksikan dalam video di bawah ini.