Thursday, October 1, 2015

Goa Jatijajar dan Legenda Lutung Kasarung Versi Masyarakat Jawa Tengah

Basa Sunda  |  Bahasa Indonesia


Pada tahun 2015 ini saya mendapatkan kesempatan untuk pertama kalinya melakukan perjalanan ke luar dari Tanah Pasundan. Kesempatan tersebut saya peroleh bertepatan dengan masa cuti kerja teman saya yang asli dari Kebumen. Serasa hendak menyebrang sungai dikasih jembatan, seperti hendak memanjat pohon dikasih tangga :D, begitulah kira-kira perumpamaannya, karena saya diajak main ke kota kelahirannya, dan sebenarnya sudah sejak lama saya ingin melakukan perjalanan ke Tanah Jawa, maka tentulah tawaran tersebut tidak bisa saya tolak.

Bertolak dari Bandung pada Jumat, 07 Agustus 2015 dengan menggunakan Kereta Api Kutojoyo Selatan dari Stasiun Kiara Condong. Jam keberangkatan menunjukan pukul 21.00, ya malam hari tentunya, dan waktu seperti itu membuat saya tak bisa menyaksikan suasana dan pemandangan di luar kereta—selain remang-remang lampu pesisian kota dan stasiun-stasiun yang dilewati, dan celakanya selama ini saya merupakan orang yang tidak bisa tidur di dalam kendaraan: alhasil, keesokan harinya seharian saya dilanda kantuk.

Kami tiba di stasiun Kebumen pukul 4.02 pagi, kemudian dengan naik kendaraan yang cukup unik yaitu becak rmotor--kami melanjutkan perjalanan ke rumah teman di sekitar Tugu Lawet kurang lebih lima menit perjalanan.

Hari masih subuh, tapi orang tua teman saya sudah pada bangun, selain karena menjelang waktu shalat, juga karena hari itu anaknya datang dari jauh. Orang tua teman saya menyambut kami dengan ramah, begitupun segenap keluarganya yang tinggal dekat rumah.

Selama seminggu di Kebumen lumayan banyak pengalaman yang saya dapatkan seperti menyaksikan pagelaran wayang kulit Ki Enthus Susmono dalam rangka purnatugas Bupati Kebumen Buyar Winarso—di alun-alun Kebumen, menyaksikan pembuatan saringan biji ganitri, menyaksikan pembuatan rumah-rumahan yang biasa dipakai pada rangkaian upacara kematian warga Keturunan Cina, mengunjungi Pantai Setrojenar atau yang populer dengan sebutan Pantai Bocor, dan mengunjungi Goa Jatijajar.


Salah satu sudut alun-alun Kebumen di malam hari


Penjual mainan anak-anak di alun-alun Kebumen
Pesta kembang api di alun-alun Kebumen


Senja hari di Pantai Bocor



Di antara berbagai pengalaman itu, Goa Jatijajarlah yang paling merangsang rasa ingin tahu saya, hal itu dikarenakan menurut keterangan dari beberapa orang yang saya temui—goa tersebut mempunyai kaitan dengan cerita Lutung Kasarung, yang mana selama ini cerita tersebut saya anggap hanya ada di Jawa Barat.

            Hari itu hari Selasa, sekitar pukul sembilan pagi—dengan naik sepeda motor—kami berdua pergi menuju objek wisata Goa Jatijajar yang terletak di bagian barat Kabupaten Kebumen, tepaknya berada di Kecamatan Ayah. Untuk sampai di lokasi tersebut, kami mengikuti jalan utama jalur selatan Pulau Jawa, dan menghabiskan waktu kurang-lebih selama dua jam perjalanan. Memang sih saya menjalankan sepeda motor dengan sangat santai—dan menurut cerita orang-orang yang saya temui, mereka rata-rata menghabiskan waktu perjalanan ke tempat tersebut tidak lebih dari 1,5 jam.

            Untuk sampai di lokasi, dari pusat Kota Kebumen kami melewati beberapa kecamatan, di antaranya Kecamatan Karanganyar dan Kecamatan Gombong. Nah, dari kecamatan Gombong inilah kami belok ke arah kiri mengikuti jalur alternatif ke Yogyakarta, lalu kurang lebih 1 km dari belokan tadi--tepatnya dekat kantor Polsek--kami mengambil belokan lagi, kali ini ke arah kanan. Jalanan yang dilalui relatif sempit dan berbelok-belok, untungnya cukup mulus, dan setelah menghabiskan perjalanan sepanjang kurang-lebih 20 km dari persimpangan Gombong tadi, akhirnya kami sampai di tempat tujuan.
Pintu masuk area Goa Jatijajar


            Setelah memarkir motor di tempat penitipan, kemudian kami segera menuju pintu masuk kawasan Goa Jatijajar. Dengan membayar tiket masuk Rp.15.000,00 untuk dua orang, kami dapat melenggang ke dalam kawasan tersebut. Keadaan sekitar saat itu cukup sepi, maklum kami datang bukan pada waktu libur. Untuk menuju ke mulut goa, terlebih dahulu kami harus berjalan sejauh beberapa puluh meter, melewati jalan beranak tangga yang di kiri dan kanannya berjejer tenda-tenda para penjual penganan. Sempat juga kami saksikan bocah-bocah yang berenang di bendungan sungai yang airnya bersumber dari mulut patung dinosaurus yang menganga, yang kalau ditelisik lagi air tersebut berasal dari sungai bawah tanah yang mengalir di dalam goa.

           Setelah melewati gapura di ujung anak tangga, akhirnya kami bisa melihat mulut Goa Jatijajar. Dari tempat ini sebenarnya kami sempat belok kiri dan berjalan terus ke atas, kemudian menemukan lokasi goa lain, yang dinamakan Goa Intan, namun karena goa ini masih sepi, juga tak ada penerangan di sana, akhirnya kami kembali lagi ke bawah, dan memutuskan langsung masuk ke dalam Goa Jatijajar.

 
Gapura sebelum masuk mulut goa

Begitu sampai di mulut Goa Jatijajar, tampak jelas perbedaannya dengan Goa Intan. Untuk memudahkan pengunjung, Goa Jatijajar ini difasilitasi dengan penerangan lampu listrik, jembatan, lantai yang dipaving, dan tangga-tangga yang sudah diberi pegangan. Di mulut goa ini juga terdapat banyak fotografer lokal yang siap mengabadikan moment start perjalanan wisatawan menuju perut bumi.
Jembatan di mulut goa
Setelah melewati jembatan penyebrangan, sampailah kami di tempat yang cukup luas. Sebagai penegas bahwa goa ini sudah ditata, di ruangan ini tampak beberapa bangku-bangku dan meja bundar. Di ruangan ini pula mulai terdapat diorama-diorama dari cerita Lutung Kasarung


Diorama Lutung Kasarung
Keseluruhan diorama tersebut bercerita tentang perjalanan Raden Kamandaka dari Kerajaan Pajajaran. Dari diorama tersebut, juga dari penuturan warga sekitar, akhirnya saya dapat menyimpulkan, bahwa terdapat perbedaan antara cerita Lutung Kasarung versi masyarakat  Pasundan dengan cerita Lutung Kasarung versi Masyarakat Jawa Tengah. Jika dalam cerita Lutung Kasarung versi masyarakat Pasundan Lutung Kasarung merupakan penjelmaan dari Guruminda yang Merupakan anak dari Sunan Ambu yang tinggal di kahyangan, dan karena suatu alasan akhirnya ia diturunkan ke dunia dan menjalin cinta dengan putri yang teraniaya dari negara Pasir Batang yang bernama Purbasari, maka dalam cerita Lutung Kasarung versi masyarakat Banyumas dikisahkan bahwa lutung kasarung adalah putra mahkota kerajaan Pajajaran--yang melakukan penyamaran. Kurang lebih seperti di bawah inilah kisah lebih lengkapnya:

Pada jaman dahulu di Tanah Pasundan berdiri kerajaan Pajajaran dengan rajanya yang bernama Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi beristri dua; dari istri pernama ia dikaruniai dua orang anak laki-laki yang bernama Banyak Catra dan Banyak Ngampar; sedangkan dari istri yang kedua--ia mempunyai seorang putra bernama Bnyak Blabur, dan seorang putri bernama Dewi Pamungkas.

Ketika Prabu Siliwangi sudah beranjak tua, beliau mempunyai maksud untuk lengser dari tahta, kemudian hendak menyerahkan kedudukan tersebut kepada salah satu anaknya. Oleh karena itu, maka dipanggilah dua orang anaknya, yakni Banyak Catra dan Banyak Blabur. Namun, alangkah sayangnya , karena dari kedua anaknya tersebut belum ada yang mau untuk menjadi raja. Banyak Catra memberi alasan bahwa ilmunya belum cukup untuk menjadi seorang raja. Selain itu, Banyak Catra beralasan bahwa untuk menjadi seorang raja haruslah ada permaisuri sebagai pendamping, sedangkan ia sendiri belum menikah. Banyak Catra mengatakan bahwa ia baru mau menikah jika sudah menemukan wanita yang paras wajahnya mirip dengan ibunya

Pertarungan Lutung Kasarung melawan Raja Pule Bahas
Untuk itulah akhirnya Banyak Catra meminta ijin kepada ayahnya untuk pergi berkelana ke luar istana. Setelah mendapat restu dari ayahnya, Raden Banyak Catra pun pergi ke arah timur. Setelah sampai di Gunung Tangkuban Parahu, Raden Banyak Catra menemui petapa sakti bernama Ki Ajar Winarong. Dari Ki ajar winarong ia mendapatkan petunjuk bahwa keinginannya dapat tercapai jika ia mau melepaskan pakaian kebesaran kerajaan, lalu melanjutkan perjalanan ke arah timur sebagai rakyat biasa. Setelah mendapat petunjuk tersebut--maka berangkatlah Banyak Catra ke arah timur, dan sesampainya di Kadipaten Pasirluhur ia bertemu dengan Patih Reksonoto, lalu kemudian mengabdi padanya, dan untuk menyembunyikan identitasnya--Raden Banyak catra mengganti nama menjadi Kamandaka. Kamandaka sangat disayang oleh Patih Reksananta--sebab beliau belum juga memiliki anak.

Adapun adipati yang berkuasa di daerah pasir Pasirluhur pada waktu itu adalah Adipati Kanandoho. Beliau memiliki beberapa orang putri yang semuanya sudah mempunyai suami, kecuali putri bungsu yang bernama Dewi Ciptoroso. Di Kadipaten Pasirluhur terdapat kebiasaan tahunan yaitu upacara menangkap ikan di Kali Logawa. Acara tersebut selalu dihadiri oleh para pembesar kerajaan.

Pada suatu hari pergilah Patih Reksonoto ke acara tersebut, dan tanpa diketahui olehnya--Kamandaka mengikuti di belakang. Ketika sampai di Kali Logawa, Kamandaka melihat perempuan yang selama ini ia cari, perempuan yang paras wajahnya mirip dengan mendiang ibunya. Ia tak lain adalah Dewi Ciptoroso, putri dari Adipati Kanandoho, sang penguasa Kadipaten Pasirluhur.

Alangkah senangnya hati Kamandaka pada waktu itu, oleh karena itu maka segeralah ia mendekati Dewi Ciptoroso, dan bak gayung bersambut keduanya saling tertarik dan jatuh hati, namun kedekatan keduanya tersebut tidak diketahui oleh anggota keluarga mereka: baik Adipati Kanandoho maupun Patih Reksonoto.

Hari menjelang senja, dan acara menangkap ikan pun selesai. Rakyat dan para pembesar Kadipaten Pasirluhur pulang ke tempat masing-masing, termasuk Kamandaka dan Dewi Ciptoroso, namun sebelum berpisah--Dewi Ciptoroso berpesan kepada Kamandaka agar nanti malam datang menemuinya di taman kaputren, dan Kamandaka berjanji akan datang,

Seperti yang sudah dijanjikan, tanpa sepengetahuan Patih Reksonoto--Kamandaka pergi menemui Dewi Ciptoroso di taman kaputren. Alangkah senang hati mereka berdua. Mereka berdua saling memadu kasih. Namun hal tersebut tak berlangsung lama karena keberadaan Kamandaka di taman kaputren segera diketahui oleh salah seorang pengawal kerajaan, yang kemudian melaporkan kejadian tersebut kepada Adipati Kanondoho bahwa di taman kaputren ada penyusup. Mendengar laporan tersebut--Adipati Kanandoho menjadi murka dan memerintahkan kepada para pengawal untuk segera menangkap penyusup tersebut. Untunglah Kamandaka segera menyadari hal tersebut, dan untuk menghindari penangkapan--ia segera berpamitan kepada Dewi Ciptoroso sambil memberitahukan bahwa ia merupakan anak dari Patih Reksonoto. Akhirnya Kamandaka dapat pergi dari taman kaputren dengan selamat, namun percakapannya yang terakhir dengan Dewi Ciptoroso didengar oleh salah seorang pengawal kerajaan, dan segera melaporkan apa yang ia dengar kepada Adipati Pasirluhur.

Setelah mendapat laporan dari pengawal kerajaan mengenai hal tersebut, maka bertambah murkalah Adipati Pasirluhur. Ia segera memerintahkan pengawal kerajaan untuk memanggil Patih Reksonoto. Sesampainya Patih Reksonoto di istana, Adipati Kanandoho segera memerintahkan agar Patih Reksonoto segera menyerahkan Kamandaka. Dengan berat hati--Patih Reksonoto menyanggupi perintah dari atasannya tersebut. Walaupun demikian, dengan siasat Reksonoto pula lah--Kamandaka dapat selamat dari kejaran prajurit Pasirluhur, ia dibiarkan terjun ke sungai dan terus menyelam ke hilir. Setelah lama menyelam dan jauh dari kejaran prajurit Kadipaten Pasirluhur, akhirnya Kamandaka muncul ke permukaan dan bertemu dengan seorang pemuda yang sedang memancing yang bernama Rekajaya, dan akhirnya mereka berdua menjadi teman dan menetap di Desa Penagih. Di Desa Penagih ini Kamandaka diangkat anak oleh Mbok Kertosuro.

Di Desa Penagih pula--Kamandaka mulai menjadi penggemar adu ayam. Ia memiliki seekor ayam jantan bernama Mercu. Si Mercu merupakan petarung tangguh. Setiap bertanding ia selalu menang dan belum pernah terkalahkan. Kehebatan Si Mercu ini membuat nama Kamandaka menjadi sangat terkenal, hingga ketenarannya sampai ke ibu kota Kadipaten Pasirluhur dan didengar oleh Adipati Kanandoho. Alangkah marah Adipati Kanandoho mendengar bahwa Kamandaka ternyata masih hidup. Kebetulan pada saat yang bersamaan sang adipati kedatangan seorang pemuda gagah perkasa hendak mengabdi, yang bernama Silihwarni. Maka ditugaskanlah Silihwarni untuk membunuh Kamandaka. Ia meminta bukti hati dan darah Kamandaka sebagai bukti bahwa pemuda itu berhasil dibunuh.
Kamandaka menjadi pebotoh sabung ayam

Sebenarnya Silihwarni adalah nama samaran dari Raden Banyak Ngamapar, yang tak lain adalah adik dari Raden Banyak Catra atau Kamandaka. Silihwarni pergi dari istana Pajajaran karena ditugaskan oleh ayahnya--Prabu Siliwangi untuk mencari Raden Banyak Catra yang telah lama pergi meninggalkan istana Pajajaran. Dengan berpakaian seperti rakyat biasa, ia sampai di Kadipaten Pasirluhur setelah mendapat petunjuk bahwa Raden Banyak Catra pergi ke daerah tersebut.

Dengan ditemani puluhan prajurit kadipaten, Silihwarni pergi ke Desa Karang Luas, tempat di mana adu ayam dilangsungkan. Di Desa inilah sepasang kakak-adik ini bertemu, mamun keduanya sama-sama tidak saling mengenal, selain karena sudah lama tidak bertemu, juga karena keduanya tidak mengenakan pakaian kebesaran istana Pajajaran. Oleh karena itu, maka terjadilah pertarungan hebat antara Kamandaka dan Silihwarni. Ketika sedang lengah, Kamandaka terkena tusuk kujang pusaka sehingga terluka dan mengeluarkan banyak darah, namun Kamandaka masih bisa meloloskan diri dari tempat tersebut.

Dalam pelariannya, luka Kamandaka terus mengeluarkan banyak darah, hingga akhirnya ia memutuskan untuk  beristirahat sebentar di suatu tempat, yang kemudian tempat tersebut dinamakan Bancaran. Namun demikian, ternyata Kamandaka masih terus dikejar oleh Silihwarni dan prajurit kadipaten, sehingga Kamandaka memutuskan utuk segera meneruskan pelarian, dan sampai di suatu tempat--Kamandaka berhasil menangkap anjing pelacak prajurit kadipaten, sehingga tempat tersebut dinamakan Karang Anjing. Kemudian Kamandaka melanjutkan pelariannya kembali sampai di suatu tempat tersembunyi, sehingga Silihwarni dan para prajurit Kadipaten kehilangan jejak. Karena merasa putus asa, Silihwarni berteriak menantang Kamandaka untuk keluar dari tempat persembunyian. Mendengar tantangan tersebut Kamandaka menerangkan jati diri yang sebenarnya, bahwa sejatinya ia adalah putra mahkota Pajajaran yang bernama Banyak Catra. Dari pengakuan Kamandaka mengenai asal-usulnya itulah konon katanya nama goa ini berasal.

Mendengar pengakuan tersebut, bukan kepalang kagetnya Silihwarni, karena ternyata orang yang ia lukai dengan kujang pusaka dan ia buru selama ini adalah kakak kandungnya sendiri, oleh sebab itu maka segeralah ia menemui Kamandaka, untuk kemudian mereka berdua berpelukan.

Setelah itu, Silihwarni kembali ke Kadipaten Pasirluhur, untuk bukti bahwa ia telah berhasil membunuh Kamandaka, maka dibunuhlah salah satu anjing pelacaknya dan diambil hati dan darahnya untuk diserahkan kepada Adipati Kanandoho, sementara itu Kamandaka memutuskan  tinggal di tempat itu untuk mencari petunjuk. Setelah beberapa waktu lamanya bertapa, akhirnya ia mendapatkan petunjuk bahwa ia akan berhasil mempersunting Dewi Ciptoroso setelah ia mendapatkan baju lutung dan ia harus mendekat ke Pasirluhur kemudian menetap di hutan Baturagung.

Setelah beberapa waktu lamanya bertapa, akhirnya Kamandaka berhasil mendapatkan baju lutung, dan sesuai dengan petunjuk, maka ia segera pergi mendekati Pasirluhur, dan menetap di Hutan Baturagung.

Adipati Pasirluhur mempunyai kegemaran berburu, pada suatu hari ia diiringi beberapa orang prajuritnya pergi berburu ke hutan. Perburuan adipati dan beberapa pengawalnya jauh masuk ke dalam hutan, hingga sampailah ia di Hutan Baturagung. Di sana ia menemukan seekor lutung bergelantungan di dahan pohon yang rendah. Karena lutung tersebut jinak, maka lutung trsebut tidak dibunuh, melainkan ditangkap hidup-hidup. Ketika lutung tersebut hendak dibawa ke Pasirluhur, tiba-tiba datang Rekajaya yang mengaku bahwa ia adalah pemilik dari lutung tersebut. Rekajaya meminta, jika lutung tersebut hendak dibawa ke istana Pasirluhur, maka biarlah dirinya sendiri yang akan merawatnya. Adipati Pasirluhur pun mengabulkan permintaan tersebut, lalu kemudian berangkatlah mereka semua menuju Pasirluhur dengan membawa seekor lutung.

Sesampainya di istana, lutung tersebut menjadi rebutan putri-putri kadipaten. Putri-putri Adipati Pasirluhur sangat menyukai lutung tersebut, namun lutung tersebut bersikap acuh dan tidak mau makan. Melihat keadaan tersebut, Adipati segera mengadakan sayembara yang isisnya: Barangsiapa yang bisa membuat lutung tersebut makan, maka dialah yang berhak memelihara lutung tersebut. Dari hasil sayembara tersebut, ternyata sang lutung hanya mau memakan makanan yang diberikan oleh Dewi Ciptoroso, dengan begitu maka Dewi Ciptoroso-lah yang berhak memelihara lutung tersebut.

Sejak Dewi Ciptoroso memenangi sayembara, maka setiap hari--sang lutung selalu bersama Dewi Ciptoroso. Pada siang hari ia menampakan diri sebagai lutung, akan tetapi pada malam hari ia menampakan wujud aslinya, yaitu Kamandaka. Mengetahui bahwa lutung tersebut adalah Kamandaka, maka bukan main senangnya hati Dewi Ciptoroso.

Pada suatu hari, raja dari Nusakambangan yang bernama Pule Bahas mengutus patihnya pergi ke Pasirluhur untuk melamar Dewi Ciptoroso, dengan ancaman jika pinangannya tidak diterima, maka seluruh Kadipaten Pasirluhur akan ia hancurkan. Atas saran dari Lutung Kasarung, maka lamaran tersebut diterima, dengan syarat jika nanti Raja Pule Bahas berkunjung ke Pasirluhur--Dewi Ciptoroso harus selalu ditemani Lutung Kasarung.

Tak lama berselang, Raja Pule Bahas pun berkunjung ke Pasirluhur untuk menemui Dewi Ciptoroso. Akan tetapi, sepanjang pertemuan itu--Lutung Kasarung selalu mengganggu, sehingga membuat Pule Bahas marah dan menyerang Lutung Kasarung. Mendapat serangan dari Pule Bahas, Lutung kasarung yang memang sudah siap dari semula--segera meladeni Pule Bahas, sehingga mereka berdua terlibat pertarungan hebat. Setelah beberapa lama bertarung, akhirnya Lutung Kasarung muncul sebagai pemenang, dan pada saat yang bersamaan ia menjelma kembali ke wujud manusia dan segera memakai baju kebesaran istana Pajajaran.

Bukan kepalang senangnya hati Dewi Ciptoroso karena menyaksikan kemenangan Lutung kasarung juga mengetahui jati diri yang sebenarnya dari lutung tersebut. Hal tersebut diketahui pula oleh seluruh keluarga Kadpaten, termasuk Adipati Pasirluhur, maka tak berselang berapa lama--Banyak Catra atau Kamandaka segera dinikahkan dengan Dewi Ciptoroso.

Seharusnya Banyak Catra menjadi raja menggantikan ayahnya di Pajajaran, akan tetapi karena ia mempunyai cacat karena terkena tusukan kujang pusaka sewaktu bertarung dengan Silihwarni, maka yang menjadi raja di Pajajaran adalah adiknya: Banyak Blabur, sedangkan Banyak Catra menjadi Adipati di Pasirluhur menggantikan mertuanya. Konon, salah satu syarat menjadi raja Pajajaran adalah tidak boleh memiliki cacat terkena kujang pusaka.
 

Sendang Kantil
Selain oranmen-ornamen cerita Lutung Kasarung, seperti di goa-goa pada umunya, di dalam lorong Goa Jatijajar pun banyak terdapat stalagtit dan stalagmit yang muncul dari atap dan dasar goa. Selain itu di dalam Goa Jatijajar pun terdapat tujuh sendang, namun yang dapat kami lalui hanya dua buah, yaitu Sendang Mawar dan Sendang Kantil. Yang menarik dari kedua sendang ini adalah kedua sendang tersebut dipercaya mempunyai khasit; Sendang Mawar dapat membuat awet muda jika airnya dipakai untuk bercuci muka; sedangkan Sendang Kantil dipercaya dapat memperlancar terwujudnya keinginan orang yang bercuci muka di sendang tersebut. Ketika kami melewati kedua sendang tersebut, tampak beberapa orang sedang bercuci muka, dan karena penasaran--saya pun ikut-ikutan seperti mereka hehe ....

Beberapa meter dari Sendang Kantil terdapat tangga keluar mulut goa yang menandai perjalanan kami di goa tersebut segera selesai. Di area sekitar tempat keluar dari goa ini juga terdapat banyak fotografer-fotografer lokal yang menyediakan jasa foto dengan dilengkapi properti-properti hidup yang menarik seperti ular sanca dan burung hantu.

 
Pintu keluar Goa Jatijajar

Di perjalanan keluar dari kompleks goa ini, di suatu persimpangan kami mengambil jalan ke arah kiri yang menuju lokasi pasar seni. Di pasir ini kami menemukan banyak hasil kerajinan masyarakat setempat seperti bermacam-macam gantungan kunci, alat-alat musik tradisional, dan aneka ragam gerabah.

 
Kios kendi di pasar seni




Salah satu toko suvenir

Seperti itulah pengalaman dari Goa Jatijajar yang dapat saya bagikan. Walaupun merupakan cerita yang belum tentu kebenarannya, tapi senang rasanya dapat berkunjung ke tempat yang menyimpan jejak leluhur Sunda. Tapi agak disayangkan, bahwa saya tidak menyempatkan mengunjungi Goa Petruk--yang kemudian saya ketahui dari internet bahwa tersebut hanya berjarak kurang lebih 4 km dari Goa Jatijajar!






Menyaksikan Proses Pembuatan Gula Merah