Thursday, November 19, 2015

Irun dan Usaha Onde Mini


Hari sudah memasuki sore. Seperti biasa, pada jam seperti itu--yang merupakan jamnya orang-orang pulang kerja--ruas jalan raya Bandung - Sumedang, tepatnya di sekitar Cileunyi dipadati berbagai macam kendaraan bermotor, dan berhubung ini adalah akhir pekan pertama di awal bulan, kemacetan itu turut diperparah oleh serbuan orang-orang yang hendak mudik ke kampung halaman masing-masing seperti Sumedang, Garut, dan Tasikmalaya.


Irun sedang sibuk melayani pembeli

Di tengah-tengah suasana macet tersebut, kurang lebih 25 meter sebelum pertigaan jalan pesantren Al-Jawami, Irun (40) sedang sibut melayani pembeli di angkringan rodanya. Sesekali--ketika tidak ada pembeli--ia tampak membuat bulatan-bulatan onde, cireng, dan molen yang ia jajakan setiap hari. Pukul empat sore adalah waktu di mana ia mulai siap  menuai hasil dari kerja kerasnya menyiapakan dan mengolah bahan yang sudah mulai ia kerjakan sejak pukul delapan pagi.

Di angkringan rodanya, Irun menjajakan tiga macam jajanan, yaitu onde, cireng, dan molen. Jika dibandingkan dengan jajanan sejenis yang dijual di tempat lain, penganan yang dijajakan oleh pria asal Purbalingga ini tergolong unik, pasalnya ketiga jenis jajanan tersebut memiliki ukuran yang relatif lebih kecil, yakni kurang lebih hanya sebesar buah kelengkeng. Meskipun ukurannya kecil, namun tidak lantas menyurutkan minat pembeli, justru ukurannya yang mini ini malah menjadi daya tarik tersendiri, sehingga roda angkringan bapak satu anak ini tidak pernah sepi pengunjung.

Untuk membuat ketiga jenis jajanan tersebut, dalam sehari Irun memerlukan tiga kilogram bahan baku, yang terdiri dari tepung terigu (bahan molen), tepung ketan (bahan onde), dan aci (bahan cireng)--masing-masing seberat satu kilogram. Untuk mendapatkan ketiga bahan tersebut, ditambah dengan bahan-bahan lainnya seperti biji wijen, pisang, kacang hijau, oncom, dan minyak goreng, dalam sehari pria beristrikan orang Cijayana-Garut ini memerlukan modal sebesar seratus lima puluh ribu rupiah. Jumlah tersebut belum termasuk kebutuhan akan gas tiga kilogram yang biasa ia beli empat hari sekali..

Meskipun dagangannya terlihat laku, bukan berarti usaha Irun berjalan setabil. Melemahnya daya beli masyarakat--seiring dengan perlambatan ekonomi--turut berpengaruh pada kelancaran usaha pria yang telah fasih berbahasa Sunda ini. Sejak kenaikan BBM, omset usaha Irun mengalami penurunan hingga 50 persen.

Dampak kenaikan harga bahan bakar minyak turut dirasakan Irun. Sebelum kenaikan harga BBM, dalam sehari ia mampu menghabiskan 6 kg bahan, tapi kini ia hanya mampuh menghabiskan 3 kg saja.

“Baheula mah dina sapoé téh sanggup béak bahan nepi ka genep kilo. Ngan ti saprak BBM naék, nu mareuli téh jadi teu pati loba, komo saenggeus dolar milu nérékél mah. Ayeuna sapoé téh ngan ukur béak tilu kilo,” demikian pengakuannya.